Sejarah Kerajaan Banten di Indonesia

Selamat Datang di Blog Edukasionesia. Berikut ini akan postingan kami yang mengenai Sejarah Kerajaan Banten di Indonesia. Semoga Bermanfaat, Ayo silakan dibaca dengan saksama.
Banten sebagai provinsi yang terus berkembang dengan sektor industrinya dikenal memiliki hubungan yang baik dengan negara lain seperti cina yang menyangkut hubungan dagang dan india menyangkut urusan keagamaan. Cukup banyak benda arkeologi seperti keramik cina, arca dan prasasti serta tulisan-tulisan sumber asing yang menyebut-nyebut Banten sebagai salah satu daerah yang cukup dikenal dengan pelabuhannya.

Letak banten yang berada di dekat selat sunda menjadikan kedudukannya sangat strategis dengan kegiatan perdagangan di Nusantara dan Asia serta kedudukan barang dengan rempah-rempah di pasar internasional makin meningkat seiring dengan berdatangannya para pedagang Eropa ke wilayah ini.
Sejarah Kerajaan Banten
SEJARAH KERAJAAN BANTEN
Secara geografis, banten terletak di provinsi Banten. Wilayah kekuasaannya meliputi bagian barat pulau jawa, seluruh wilayah lampung dan sebagian wilayah selatan. Situs peninggalan kerajaan banten tersebar di beberapa tempat seperti Tanggerang Serang, Cilegon dan Pandeglang.

Pelabuhan Banten merupakan salah satu pelabuhan besar kerajaan pajajaran setelah Sunda Kelapa yang ramai dikunjungi para pedagang asing. Wilayah ini dikuasai oleh suatu kerajaan bercorak hindu dan merupakan daerah vassal dari kerajaan Pajajaran. Nama kerajaan itu dikenal dengan Banten Girang yang dikuasi oleh Prabu Pucuk Umun.

Setelah jatuhnya Malaka ke tangan portugis tahun 1511, Selat Sunda menjadi pintu masuk utama ke Nusantara bagian timur lewat pantai barat Sumatera bagi pedagang-pedagang muslim, dan kemudian bagi para pedagang Eropa yang datang dari arah ujung selatan Afrika dan Samudra Hindia.
Masuknya pedagang-pedagang asing, terutama para pedagang muslim ke wilayah banten telah mengakibatkan perubahan dalam pemerintahan, meski masuknya agama islam sudah diperkirakan sejak abad ke-7 Masehi, namun perkembangan Islam di Banten sebagai lembaga politik baru dimulai sejak abad ke-15 Masehi dengan berdirinya Kesultanan Banten.

Pedangang pedagang muslim yang masuk ke wilayah Banten tidak hanya melakukan aktivitas perdagangan tetapi mereka juga menyebarkan agama islam yang disebut dengan dakwah. Keberadaan orang islam di Banten diketahui dari berita Tome Pires yang menyebutkan bahwa daerah Cimanuk, kota pelabuhan dan batas kerajaan Sunda dengan Cirebon banyak dijumpai orang islam. Yang menunjukkan bahwa pada akhir abad ke-15 Masehi, di wilayah kerajaan pajajaran sudah ada masyarakat yang beragama islam walaupun penguasanya masih beragama hindu.

Perluasan islam di Banten sejalan dengan perkembangan pelabuhan Banten, maka semakin banyak orang-orang islam yang menetap di Banten, lama kelamaan daerah ini menjadi pusat penyebaran agama islam di jawa barat.

Setelah diawali oleh Sunan Ampel, tidak bisa dipisahkan dari nama Syarif Hidayatullah atau sering disebut Sunan Gunung Jati. Yang merupakan pendiri serta sultan pertama di Kesultanan Cirebon. Ayah beliau adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar. Jamaluddin Akbar adalah seorang Muballigh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Mawlana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Mawlana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramawt, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucu beliau Imam Husayn. Ibunda Syarif Hidayatullah adalah Nyai Rara Santang putri Prabu Siliwangi (dari Nyai Subang Larang) adik Kiyan Santang bergelar Pangeran Cakrabuwana yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi.Strategi dakwah yang dijalankannya adalah memperkuat kedudukan politis sekaligus memperluas hubungan  dengan tokoh-tokoh yang berpengaruh.

Syarif Hidayatullah yang telah memiliki murid sekitar 90 orang , mulai mengislamkan penduduk Banten. Penguasa lokal di Banten Sultan Trenggono yang tertarik dengan tingginya ilmu dan akhlak Syarif Hidayatullah menikahkan adiknya yang bernama Nyai Kawunganten. Dari perkawinan ini lahir dua orang anak yang diberi nama Ratu Winaon dan Maulanan Hasanuddin.

Syarif Hidayatullah dan Maulana Hasanuddin terus berusaha mengislamkan masyarakat Banten. Setelah mengislamkan sekitar delapan ratus pertapa di Lereng Gunung Pulosari, Syarif Hidayatullah memerintahkan anaknya untuk terus berdakwah sedangkan ia kembali ke Cirebon.

Maulana Hasanuddin melanjutkan perjalanannya sambil terus berdakwah dan mengislamkan masyarakat daerah sekitar dengan aliansi Demak. Usaha-usaha ini dilakukan untuk melukiskan penguasaan rohani atas wilayah politik Banten Girang. Setelah berhasil mengislamkan para penguasanya, Hasanuddin berani melancarkan serangan militer atas pusat politik Banten Girang dan berhasil mengalahkan Prabu Pucuk Umun pada tahun 1525.

Fase awal penyebaran islam merupakan proses utama dalam sejarah  Banten. Pada masa Syarif Hidayatullah dan Maulana Hasanuddin terjadi transformasi keagamaan dari kerajaan yang bercorak Hinduistik ke kerajaan yang bercirikan islam.

Maulana hasanuddin sebagi raja pertama di kesultanan Banten membuat kebijakan pemerintahannya seperti memindahkan pusat kerajaan dari Banten Girang ke Banten lama yang merupakan petunjuk dari Syarif Hidayatullah. Pusat pemerintahannya dipindahkan ke dekat pelabuhan Banten. Tempat yang diberi nama Surosowan menjadi ibu kota Kerajaan Islam Banten.

Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.
Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana, Banten yang sebelumnya vazal dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Pasca Maulana Hasanuddin, kesultanan banten menunjukkan signifikansi kemajuan sebagai kerajaan islam nusantara.

Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570 melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579. Sebagai pengganti ayahnya, memimpin pembangunan kesultanan banten di segala bidang. Strategi pembangunan lebih dititik beratkan pada pengembangan infrastruktur kota, pemukiman, keamanan wilayah, perdagangan dan pertanian.

Sultan maulana yusuf juga mencetuskan sebuah konsep pembangunan infrastruktur kota yang dikenal dengan semboyannya “gawe kuta baluwarti bata kalawan kawis”. Ia membangun pemukiman masyarakat sesuai dengan pembagian penduduk berdasarkan pekerjaan, status dalam pemerintahan, ras dan social ekonomi. Kampung kasunyatan merupakan salah satu pemukiman yang dibangun bagi kaum ulama. Sesuai dengan namanya kampung ini merupakan pusat pembelajaran agama islam masa Sultan Maulana  Yusuf. Hadirnya Sultan Maulana Yusuf memberikan arti penting bagi kemajuan kesultanan banten. Periode pemerintahannya selama kurun waktu sepuluh tahun (1570-1580) dianggap sebagi fase awal bagi pembangunan kesultanan banten sebagai daerah yang maju pesat di segala bidang.

Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan tersebut.

Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Hal-hal yang dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa terhadap kemajuan Kerajaan Banten yaitu memajukan wilayah perdagangan. Wilayah perdagangan Banten berkembang sampai ke bagian selatan Pulau Sumatera dan sebagian wilayah Pulau Kalimantan, Banten dijadikan sebagai tempat perdagangan internasional yang mempertemukan pedagang lokal dengan para pedagang asing dari Eropa, memajukan pendidikan dan kebudayaan Islam sehingga banyak murid yang belajar agama Islam ke Banten, melakukan modernisasi bangunan keraton dengan bantuan arsitektur Lucas Cardeel. Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten. Ia juga sangat baik dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661. Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.

Sejumlah situs bersejarah peninggalan Kerajaan Banten dapat kita lihat hingga sekarang di wilayah Pantai Teluk Banten, membangun armada laut untuk melindungi perdagangan. Kekuatan ekonomi Banten didukung oleh pasukan tempur laut untuk menghadapi serangan dari kerajaan lain di Nusantara dan serangan pasukan asing dari Eropa.

Sultan Ageng Tirtayasa merupakan salah satu raja yang gigih menentang pendudukan VOC di Indonesia. Kekuatan politik dan angkatan perang Banten maju pesat di bawah kepemimpinannya.

Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di London tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan. Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa, namun pada 28 Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC.

Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan memberikan kompensasi kepada VOC di antaranya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC, seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.

Sultan Ageng bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap kemudian ditahan di Batavia.

Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang masih berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC mengirim Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta pasukan Balinya, bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683 mereka berhasil menawan Syekh Yusuf. Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan menyerahkan diri. Kemudian Untung Surapati diperintahkan oleh Kapten Johan Ruis untuk menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, terjadi pertikaian di antara mereka, puncaknya pada 28 Januari 1684, pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di Batavia.

Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia-Belanda di Batavia. Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya diangkat mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa sekitar tiga tahun, selanjutnya digantikan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan kemudian dikenal juga dengan gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten.

Perang saudara yang berlangsung di Banten meninggalkan ketidakstabilan pemerintahan masa berikutnya. Konfik antara keturunan penguasa Banten maupun gejolak ketidakpuasan masyarakat Banten, atas ikut campurnya VOC dalam urusan Banten. Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa akhir pemerintahan Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin, di antaranya perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa. Akibat konflik yang berkepanjangan Sultan Banten kembali meminta bantuan VOC dalam meredam beberapa perlawanan rakyatnya sehingga sejak 1752 Banten telah menjadi vassal dari VOC.

Dengan dikuasainya Banten oleh Belanda, maka raja-rajanya hanya dijadikan boneka oleh antek-antek Belanda yang membawa kehancuran Kerajaan Banten.

Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris. Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon. Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin kemudian diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah menjadi bagian dari wilayah Hindia Belanda.

Kesultanan Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa turun tahta oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten. Berikut potret sisa-sisa peninggalan kerajaan Banten.
Sejarah Kerajaan Banten
SEJARAH KERAJAAN BANTEN
Setelah kita membahas sejarah awal mula hingga akhir dari kerajaan Banten dan mengetahui sedikitnya ulasan mengenai karakteristik pemerintahannya maka mari kita lebih mendalami per poin dari politik, ekonomi dan sosial budaya :
1. Politik
Kerajaan Banten yang dulunya bergabung dengan kerajaan Demak mulai melepaskan diri dan memperluas wilayah. Perluasan wilayah yang berjalan lancer menjadikan kerajaan ini sebagai kerajaan Maritim.  Organisasipolitik mengacu pada prinsip primus interpares (pemerintahan yang dipegang oleh tetua masyarakat atau kaolotan) yang mendapat mandate masyarakat dan legitimasi religious-magis.

Keadaan politik yang cukup rumit menjadikan kerajaan banten memanas dan terjadi perselisihan dengan diadudombakan oleh VOC (Vereenigde Oostindisce Compagnie) yang menginginkan kekuasaan, maka runtuhlah kerajaan banten karena politik perang saudara dan perebutan kekuasaan.

2. Ekonomi
Perekonomian masyarakat Banten dulu pada masa jayanya sangat terjamin karena perdagangan di kerajaan ini dan daerah sekitarnya berkembang pesat karena termasuk wilayah yang sangat strategis bagi pada pedagang asing untuk masuk. Juga pertanian serta pelayaran di kerajaan Banten yang terus dikembangkan dan terus meningkat. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu. Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.

3. Sosial Budaya
Pengaruh sosial budaya sangat kental pada masa kerajaan Banten seperti lahirnya para ulama didikan dari sultan-sultan sebelumnya. Penduduknya bersifat bebas dan terbuka serta memiliki toleransi yang tinggi terhadap perbedaan agama, pembangunan mesjid agung kerajaan banten berhasil dengan baik dan yang terakhir yaitu berkembangnya tulisan di bidang tafsir, hadist, sejarah, hokum, tauhid dan lain-lain.
Mesjid Agung Kerajaan Banten
LUKISAN MESJID AGUNG BANTEN