Apa itu Fndamentalisme |
Definisi Fundamentalisme, Dalam pengertian lebih sempit dari fundamentalisme ‘literer’; istilah itu sebenarnya digunakan pertamakali untuk menyebut umat Kristen Penginjil Amerika, yang pada abad ke sembilan belas secara serius mengusahakan pemahaman harfiah dan menerapkan Bibel secara murni dan yang menolak teori evolusi temuan Darwin yang populer. Kaum fundamentalis literal dianggap naif, bahkan bodoh karena literalisme mereka yang dicap primitif. Padahal pendekatan mereka justru berkaitan dengan filosofi (bahasa) analitis modern terhadap metafisika.
Walaupun pada awalnya istilah ini digunakan untuk kelompok tertentu yang meyakini bahwa dunia ini akan segera berakhir (kiamat), akan tetapi seiring berjalannya waktu istilah ini juga diberikan pada kelompok yang mempunyai kepercayaan yang lebih universal. Tepatnya, istilah fundamentalisme merupakan istilah yang diberikan sendiri kepada para agamawan Protestan yang konservatif. Istilah ini diperkenalkan dan dipublikasikan melalui pamflet yang berjudul “The Fundamentals of the Faith” yang diterbitkan oleh Amerika Serikat pada tahun 1920-an. Dalam pamflet tersebut kaum Protestan konservatif menjelaskan kembali bahwa kepercayaannya masih berlaku dan sesuai dengan kondisi sosial apapun.
Keyakinan tersebut mereka konsep dalam ambisi untuk melawan zaman liberal yang progresif. Inilah yang kemudian oleh para pembaca pamflet tersebut kaum Protestanis dianggap kaum fundamentalisme, yakni kelompok Protestan yang anti modernitas. Fundamentalisme, dalam kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi merupakan pandangan yang muncul pada 1909 dan dipakai secara umum untuk menunjuk corak tertentu dari protestanisme konservatif. Tujuan fundamentalisme adalah untuk memelihara dasar-dasar kepercayaan dan untuk memerangi usaha untuk menafsirkan kembali Bibel dan teologi dalam kerangka pengetahuan modern. Agama Kristen dianggap sebagai agama yang sudah memadai yang dikemukakan oleh Bapak-bapak Gereja.
Menurut Karen Armstorng istilah fundamentalisme adalah istilah yang sesat. Di Islam sendiri istilah tersebut adalah Ushuliyah, kata yang merujuk pada penelitian atas sumber-sumber berbagai aturan dan prinsip hukum Islam. Barang kali Armstrong akan menyetujui ungkapan Harun Naution tentang penggunaan istilah fundamentalisme. Menurut Harun Nasution, fundamentalisme istilah yang tidak dipakai dalam umat Islam, dengan demikian berarti istilah yang cocok adalah modernisme atau pembaruan (tajdid). Tapi kalau yang dimaksud dengan fundamentalisme bukanlah paham kembali ke ajaran-ajaran dasar, tetapi paham dan gerakan mempertahankan ajaran-ajaran lama dan menentang pembaruan, seperti dalam gerakan Protestan Amerika yang muncul pada abad ke 19 lalu, maka istilah demikian tidak sesuai dengan paham dan gerakan sejenisna yang terdapat dalam Islam.
Dalam masalah penggunaan istilah, fundamentalisme seringkali dianggap mengacu pada pemahaman yang literalis atau tekstualis dan ingin kembali pada sejarah masa lalu. Menurut John L. Esposito, kita seringkali terkecoh dengan persepsi fundamentalisme yang terkontaminasi oleh Protestanisme Amerika. Esposito menganggap bahwa bagi banyak orang Kristen, “fundamentalis” adalah pelecehan yang digunakan secara sembarangan terhadap agamawan-agamawan Injil literalis. Sebab mereka tidak terjun langsung ke lapangan untuk meneliti fakta yang sebenarnya. Terlalu awam jika mereka hanya memandang dengan sebelah mata.
Istilah fundamentalisme Islam menurut Yusuf Qardhawi sebenarnya disodorkan oleh media Barat—di luar kehendak kita—supaya diadopsi oleh kalangan umat manusia melalui media massa. Ada istilah yang mengatakan jika kebohongan diucapkan berkali-kali, maka pada akhirnya akan dipercaya. Dengan demikian Yusuf Qardhawi mengatakan dengan tegas mengenai istilah aqidah, syariat, minhaj kehidupan, dakwah kepadanya, dianggap sebagai “fundamentalisme”, maka biarlah orang-orang yang merasa keberatan mau memberi kesaksian bahwa memang kita para “fundamentalis”.
Bassam Tibi mempunyai anggapan lain tentang fundamentalisme. Menurutnya fundamentalisme adalah istilah yang paling tepat untuk menyebutkan pandangan-pandangan dunia yang dipolitisasi dari peradaban-peradaban yang bersaing. Namun banyaknya massa yang dimiliki Islam baginya bukanlah menjadi alasan mengapa fundamentalisme sebagai ideologi politik. Alasannya bahwa fundamentalisme Islam lebih merupakan ideologi politik daripada fenomena yang murni agama didukung oleh adanya fakta tidak adanya perdebatan teologis secara husus dalam fundamentalisme sendiri. Mereka tidak berdebat mengenai klub-klub intelektual juga tidak menyibukkan diri dalam polemik kontorversi-kontrovesi teologis. Mereka adalah para aktivis ideologis dan politis.
Akan tetapi Islam yang bergerak tidak hanya ada yang menganggap Islam fundamentalis tapi ada juga yang mengasumsikan bahwa Islam yang seperti ini bisa diklasifikasikan sebagai gerakan “Islamisme”. Sebagaimana menurut Oliver Roy, ia menyebutkan bahwa aktivisme politik keagamaan cocok dengan istilah
“islamisme” untuk menyebut gerakan kontemporer yang memandang Islam mengandung ajaran ideologi politik. Soalnya islamisasi masyarakat—dalam sejarah Islam—mesti dilakukan melalui kekuasaan negara. Menaklukkan negara dulu baru kemudian melakukan islamisasi. Menurutnya, pendekatan yang ditempuh begitu non-koperatif dengan penguasa dan menolak sistem politik demokrasi.
Mark Juergensmeyer juga tidak sepakat jika istilah fundamentalisme, dalam artian masih ragu. Ia memiliki tiga alasan atas keraguannya. Pertama, istilah itu bersifat merendahkan karena mengandung tuduhan ketimbang penjelasan. Kedua, fundamentalisme adalah kategori yang tidak tepat untuk membuat perbandingan lintas kultural. Ketiga, untuk menggunakan fundamentalisme tidak dibawa ke makna yang politis. Mereka lebih dimotivasi oleh keyakinan-keyakinan religius daripada politis.
Walaupun semua demikian tentang istilah fundamentalisme, dengan segala kekurangannya “fundamentalisme” adalah satu-satunya istilah yang kita punyai untuk menggambarkan kelompok religius yang suka bertempur ini, dan sulit untuk muncul dengan pengganti yang lebih memuaskan.