Pengertian Riba Menurut Para Ahli

Selamat Datang di Blog Edukasionesia. Berikut ini akan postingan kami yang mengenai Pengertian Riba Menurut Para Ahli. Semoga Bermanfaat, Ayo silakan dibaca dengan saksama.
Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.

Ada beberapa  penjelasan tentang riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.
Arti Riba
Riba menurut para ahli fiqih dari beberapa madzhab

Golongan Hanafiah memberikan ta’rif bahwa riba adalah kelebihan atau tambahan yang kosong dari ganti dengan standar syar’i yang disyaratkan kepada salah satu dari dua orang yang bertransaksi dalam tukar menukar (Ibnu Abidin 4/176 dan apa-apa yang sesudahnya, dan ta’rif ini juga bagi al-Tamrutasy dalam Tanwir al-Abshar dan dalam al-Ikhtiyar 2/30), dikatakan juga bahwa riba di dalam syara’ adalah pengertian dari suatu akad yang rusak dengan sifat sama saja di dalamnya ada tambahan atau tidak ada tambahan.

Karena menjual beberapa dirham dengan beberapa dinar secara utang walaupun tidak ada tambahan, hukumnya riba. 
Penjelasan: A pinjam dari B Rp 1.000.000, B meminjamkan dengan pengembalian Rp 1.200.000. Rp 1.000.000 dari B kepada A sebagai pinjaman dan Rp 1.000.000 dari A kepada B sebagai pengembalian, berarti ada gantinya yang senilai. Tetapi tambahan pengembalian dari A sebesar Rp 200.000 kepada B, tidak ada gantinya dari B kepada A senilai uang tersebut (kosong dari ganti). 


Transaksi ini riba dan haram. 

Golongan al-Syafi’iyah memberikan ta’rif bahwa riba adalah transaksi atas dasar adanya imbalan tertentu yang tidak diketahui persamaannya dalam standar syara’ pada saat bertransaksi atau bersamaan dengan mengakhirkan dua gantinya atau salah satu gantinya (Mughni al-Muhtaj 2/21). 

Contoh: menukar padi di sawah dengan padi yang sudah kering 1 ton, dengan perhitungan kira-kira kurs-nya itu ada penurunan 20 persen. Tetapi persamaannya tidak diketahui dengan pasti. Hukumnya adalah riba. 

Golongan al-Hanabilah memberikan ta’rif bahwa riba adalah adanya kelebihan/tambahan dalam segala sesuatu dan penggemukan dalam segala sesuatu, dikhususkan dengan segala sesuatu yang syara’ datang mengharamkannya yakni mengharamkan riba di dalamnya secara nash untuk sebagiannya dan mengharamkannya secara kias untuk sebagian lainnya (Kasysyafu al-Qina’ 3/251, Mathalibu uli al-nuha 3/157). 


Golongan al-Malikiyah memberikan ta’rif tiap-tiap macam riba secara sendiri-sendiri (Kifayatu al-Thalib al-Rabany 2/99 dan lainnya). 

Ada beberapa lafadz yang berhubungan dengan riba. 

1. Al-bai’ 

Al-bai’ secara bahasa adalah masdar dari baa'a arti asalnya: pertukaran harta dengan harta dan umum digunakan dalam arti “transaksi” secara majaz, karena al-bai’ menjadi sebab kepemilikan. Al-baai’ umum digunakan juga atas tiap-tiap satu dari dua orang yang bertransaksi (al-baai’ bisa diartikan penjual dan bisa diartikan pembeli pen.). Tetapi kata-kata al-baai’ ketika disebut secara bebas yang paling cepat bisa diterima oleh pikiran artinya ialah “orang yang memberikan barang” dan al-bai’ jika disebut secara bebas bisa diartikan “barang dagangan” dan bisa dikatakan: ini dagangan yang bagus (al-Mishbahu 
al-Munir hal. 69). 

Menurut istilah, al-Qolyuby memberikan ta’rif al-bai’ adalah transaksi tukar menukar harta yang memberi faedah kepemilikan suatu benda/barang atau manfaat untuk selamanya bukan karena adanya tujuan taqarrub (Hasyiah Qolyuby 2/152 dan al-Mausu’ah 22/50). Pada dasarnya jual beli hukumnya halal dan riba hukumnya haram. 


2. Al-‘araaya 
Al-‘ariyah secara bahasa adalah pohon kurma yang oleh pemiliknya diberikan kepada orang lain agar memakan buahnya yang masih segar, atau pohon kurma yang dimakan buahnya yang masih ada di atas pohon. Jama’nya al- ‘araaya dikatakan juga makna al-‘ariyah adalah memakan buah kurma yang masih segar (al-Mishbah al-Munir dan kamus al-Muhit).



Adapun golongan al-Syafi’iyah memberikan ta’rif bahwa al-‘ariyah adalah menjual kurma basah di atas pohon dibayar dengan kurma kering di atas bumi atau menjual anggur basah di atas pohon dibayar dengan anggur kering di atas bumi yang jumlahnya kurang dari lima wasak (1 wasak = 60 sho’, 1 sho’ = 2,7 kg pen.), sesuai dengan taksiran persamaannya (Syarhu al-minhaj lil Mahally 2/238, al-Mausu’ah 9/91).

Di dalam bai’ araya ada unsur riba dan syubhat yang ada dalam al-muzabanah tetapi jual beli araya itu diperbolehkan secara nash, di antaranya: 

Dari Sahal bin Abi Hatsmah dia berkata: Rasulullah SAW melarang jual beli kurma dibayar dengan kurma, dan beliau memberi kemurahan dalam urusan ariyah dijual dengan taksirannya, keluarganya memakan kurma basah dari ariyah (H.R. al-Buhari, al-Fathu 4/387 cet. Al-salafiyah, dan Muslim 3/1170 cet. 

al-Halaby, dan lafadz kedua bagi Muslim). Di dalam lafadz lain: dari jual beli buah dengan kurma dan dia berkata: riba yang demikian itu al-muzabanah hanya saja bolehnya jual beli ariyah itu sah berdasarkan nash yaitu satu pohon dua pohon yang diambil oleh ahli rumah diganti dengan kurma kering, mereka memakan kurma basah (dari jual beli aariyah) sesuai taksirannya (Nail al- Author 5/226).