A. Filsafat Pendidikan dan Kepribadian
Dalam pengertian sederhana, filsafat diartikan sebagai kepribadian jatidiri dan pandangan hidup seseorang, masyarakat atau bangsa. Kondisi ini dibentuk oleh tradisi kehidupan masyarakat ataupun
oleh usaha yang terprogram.
Namun demikian, sesederhana apapun, pembentukan itu tak lepas dari peran pendidikan. Pendidikan menurut Hasan Langgulung, pada prinsipnya dapat dilihat dari dua sudut pandang: individu dan masyarakat (Hasan Langgulung, 1986:38).
Dilihat dari sudut pandang individu, pendidikan merupakan usaha untuk membimbing dan menghubungkan potensi individu. Sementara dari sudut pandang kemasyarakat, pendidikan merupakan usaha pewarisan nilai-nilai budaya dari generasi tua ke generasi muda agar nialai-nilai budaya tersebut tetap terpelihara. Dalam kontek ini dapat dilihat hubungan antara pendidikan dengan tradisi budaya dan kepribadian suatu masyarakat betapapun sederhananya masyarakat itu.
Transfer nilai-nilai budaya yang paling efektif adalah melalui proses pendidikan. Dalam masyarakat modern, proses pendidikan tersebut didasarkan pada suatu sistem yang sengaja dirancang sebagai program pendidikan secara formal. Oleh sebab itu, dalam penyelenggaraannya dibentuk kelembagaan pendidikan formal.
Menurut Hasan Langgulung, pendidikan mencakup dua kepentingan utama, yaitu pengembangan potensi individu dan pewarisan-pewarisan nilai-nilai budaya. Kedua hal ini berkaitan erat dengan pandangan hidup satu masyarakat atau bangsa itu masingmasing. Dengan kata lain, sistem pendidikan bagaimanapun sederhana mengandung karakteristik tentang jati diri atau pandangan hidup masyarakat atau bangsa yang membuatnya.
Bangsa Indonesia yang memiliki filsafat dan pandangan hidup tersendiri, yaitu Pancasila. Pandangan hidup ini dengan sendirinya menjadi dasar dan sekaligus tujuan sistem pendidikan nasional. Dengan
kata lain sistem pendidikan nasional disusun atas dasar filsafat pendidikan Pancasila. Sebab filsafat pendidikan merupakan ilmu pendidikan yang bersendikan filsafat atau filsafat yang diterapkan dalam
usaha pemikiran dan pemecahan masalah-masalah pendidikan (Imam Barnadib, 1986:5).
Bila pendidikan dikembalikan pada fungsinya sebagai usaha untuk mengembangkan potensi individu dan sekaligus sebagai usaha untuk mewariskan nilai-nilai budaya, maka pendidikan juga menyangkut
pembentukan kepribadian. Pendidikan berkaitan dengan usaha untuk mengubah sikap dan tingkah laku. Sedangkan kepribadian berhubungan dengan pola tingkah laku.
Setidak-tidaknya, kepribadian dapat dilihat dari empat aspek muatannya. Pertama, aspek personalia, yaitu kepribadian dilihat dari pola tingkah laku lahir dan batin yang dimiliki seseorang. Kedua, aspek
individualisme, yakni karakteristik atau sifat-sifat khas yang dimiliki seseorang, hingga dengan adanya sifat-sifat ini seseorang secara individu berbeda dengan individu lainnya. Ketiga, aspek mentalitas, sebagai perbedaan yang berkaitan dengan cara berpikir. Mentalitas sebagai gambaran pola pikir seseorang. Keempat, aspek identitas, yaitu kecenderungan seseorang untuk mempertahankan sikap dirinya dari pengaruh luar. Identitas merupakan karakteristik yang menggambarkan jati diri seseorang.
Berdasarkan keempat aspek tersebut, terlihat bagaimana hubungan antara pendidikan dan pembentukan kepribadian, dan hubungannya dengan filsafat pendidikan yang bersumber dari nilai-nilai budaya sebagai pandangan hidup suatu bangsa.
B. Filsafat Pendidikan dan Sumber Daya Manusia
Dari sudut pandang potensi yang dimiliki itu, manusia dinamakan dengan berbagai sebutan. Dilihat dari potensi inteleknya manusia disebut homo intelectus. Manusia juga disebut homo faber, karena manusia memiliki kemampuan untuk membuat beragam barang atau peralatan. Kemudian manusia pun disebut sebagai homo sacinss atau homo saciale abima, karena manusia adalah makluk bermasyarakat. Di lain pihak, manusia juga memiliki kemampuan merasai, mengerti, membedabedakan, kearifan, kebijaksanaan, dan pengetahuan. Atas dasar adanya kemampuan tersebut, manusia disebut homo sapiens (K. Prent, CM, J. Adisubrata, W.M. Poerwadarminta, 1969: 322-764).
Filsafat pendidikan, seperti dikemukakan Imam Barnadib, disusun atas dua pendekatan. Pendekatan pertama bahwa filsafat pendidikan diartikan sebagai aliran yang didasarkan pada pandangan filosofis tokohtokoh tertentu. Sedangkan pandangan kedua adalah usaha untuk menemukan jawaban dari pendidikan beserta problema-problema yang ada yang memerlukan tinjauan filosofis (Imam Barnadib: 7).
Dari pendekatan pertama, terkait dengan kualitas potensi manusia, terdapat tiga aliran filsafat. Pertama, aliran naturalisme, yang menyatakan bahwa manusia memiliki potensi bawaan (natur) yang dapat berkembang secara alami, tanpa memerlukan bimbingan dari luar (lingkungan). Secara alami manusia akan bertambah dan berkembang sesuai dengan kodratnya masing-masing. Tokoh aliran ini adalah Jean Jacques Rosseau.
Kedua, aliran empirisme. Menurut aliran ini, manusia tumbuh dan berkembang atas bantuan atau karena adanya intervensi lingkungan. Tanpa ada pengaruh luar, manusia tidak akan berkembang. Manusia dianggap sebagai mahluk pasif tanpa potensi bawaan. Manusia ditentukan bagaimana lingkungan mempengaruhinya. Jika lingkungan baik maka akan menjadi baik. Sebaliknya jika lingkungan buruk manusia akan menjadi buruk pula. Tokoh aliran ini adalah Schopenhauer.
Ketiga aliran Konvergensi, yang memiliki pandangan gabungan antara naturalisme dan empirisme. Menurut aliran ini manusia secara kodrati telah dianugrahi potensi yang disebut bakat. Namun agar potensi itu dapat tumbuh dan berkembang dengan baik perlu adanya pengaruh dari luar berupa tuntunan dan bimbingan melalui pendidikan. Bakat hanyalah kemampuan atau potensi dasar. Pertumbuhan dan perkembangan tergantung dari pemeliharaan atau pengaruh lingkungan. Tokoh aliran ini adalah John Locke.
Ketiga aliran tersebut kemudian menjadi dasar pemikiran tentang manusia dalam kaitan dengan problema pendidikan. Namun, Kohnstamm menambah faktor kesadaran sebagai faktor keempat. Dengan demikian, menurutnya, selain faktor dasar (natur) dan faktor ajar (empiri), yang kemudian dikovergensikan, masih perlu adanya faktor kesadaran individu.